Bangsa Cina mendarat di Indonesia pada abad ke 5, di pesisir pantai Jawa Timur. Mereka adalah pedagang yg berlayar untuk mencari rempah2, dan kemudian karena satu dan lain hal, mereka menetap di Indonesia dan berasimilasi dengan penduduk setempat. Para pedagang Cina ini juga diyakini sebagai yg membawa agama dan tradisi Islam masuk ke Indonesia, karena berkat Jalan Sutra, agama Islam yg berasal dari Arab, masuk ke Cina melalui India. Bahkan menurut sejarah, beberapa orang dari Wali Songo adalah keturunan Cina seperti Sunan Ampel, Sunan Bonang, Sunan Kalijaga, dan Sunan Gunung Jati. Hal ini merupakan sesuatu yg ironis di masa pada jaman sekarang hanya sedikit orang Tionghoa yg memeluk agama Islam. Mengapa bisa demikian?
Pada tahun 1740, karena krisis ekonomi yg disebabkan oleh turunnya harga gula di pasar global, Belanda hendak mengikis upah gaji para pekerja dengan cara memindahkan para kuli, yg sebagian besar adalah pribumi, ke Afrika. Padahal maksud sebenarnya adalah mereka bermaksud membuang para kuli itu ke laut lepas diam2. Entah bagaimana caranya, isu tersebut tersebar dan para pedagang Tionghoa di Batavia, menggalang kekuatan untuk menyerbu kapal2 Belanda tersebut. Pertumpahan darah pun tidak dapat dielakkan.
Akibat perlawanan tersebut, Belanda mengeluarkan perintah untuk memeriksa dan melucuti para pedagang Tionghoa, namun yg terjadi sebenarnya adalah pembantaian besar2an di mana dalam 3 hari, 50.000-60.000 orang Tionghoa dibunuh. Belanda juga mengeluarkan dekrit bahwa orang Tionghoa lah yg berencana membunuh para kuli pribumi dan mereka seolah2 bertindak sebagai penyelamat bagi orang2 pribumi. Kemudian Belanda juga menjanjikan imbalan bagi setiap kepala orang Tionghoa yg berhasil dibunuh. Inilah awalnya perselisihan antara Tionghoa dan pribumi. Nama "Kali Angke" yg ada di daerah Jakarta Utara berasal dari kata "Sungai Merah" yg menggambarkan kejadian pembantaian saat itu di mana sungai2 menjadi warna merah oleh darah Tionghoa.
Ironically, though most of the present Chinese Indonesians are not Muslims, some of the earliest Islamic evangelists in Java (Wali Songo, or the Nine Ambassadors) were of Chinese ancestry. At least four of those nine were original Chinese or Chinese descendants: Sunan Ampel, Sunan Bonang (son of Ampel and a Chinese woman), Sunan Kalijaga, and Sunan GunungjatiPada jaman Kolonial Belanda, tahun 1680, para pedagang Tionghoa memegang peranan penting dalam perekonomian di Batavia. Bahkan usaha penjajah untuk memonopoli pun terhambat dan mereka terpaksa berbisnis dengan para pedagang Tionghoa tersebut. Akibatnya, penjajah merasa terancam karena keberadaan orang Tionghoa secara tidak langsung menyokong kehidupan pribumi di Indonesia, dan jika orang Tionghoa dan pribumi bersatu untuk melawan, para penjajah akan kewalahan. Karena itulah, para penjajah berusaha mengadu domba pribumi dan orang Tionghoa, dan mereka berhasil.
Pada tahun 1740, karena krisis ekonomi yg disebabkan oleh turunnya harga gula di pasar global, Belanda hendak mengikis upah gaji para pekerja dengan cara memindahkan para kuli, yg sebagian besar adalah pribumi, ke Afrika. Padahal maksud sebenarnya adalah mereka bermaksud membuang para kuli itu ke laut lepas diam2. Entah bagaimana caranya, isu tersebut tersebar dan para pedagang Tionghoa di Batavia, menggalang kekuatan untuk menyerbu kapal2 Belanda tersebut. Pertumpahan darah pun tidak dapat dielakkan.
Akibat perlawanan tersebut, Belanda mengeluarkan perintah untuk memeriksa dan melucuti para pedagang Tionghoa, namun yg terjadi sebenarnya adalah pembantaian besar2an di mana dalam 3 hari, 50.000-60.000 orang Tionghoa dibunuh. Belanda juga mengeluarkan dekrit bahwa orang Tionghoa lah yg berencana membunuh para kuli pribumi dan mereka seolah2 bertindak sebagai penyelamat bagi orang2 pribumi. Kemudian Belanda juga menjanjikan imbalan bagi setiap kepala orang Tionghoa yg berhasil dibunuh. Inilah awalnya perselisihan antara Tionghoa dan pribumi. Nama "Kali Angke" yg ada di daerah Jakarta Utara berasal dari kata "Sungai Merah" yg menggambarkan kejadian pembantaian saat itu di mana sungai2 menjadi warna merah oleh darah Tionghoa.
On October 9, 1740, the order was issued to search the houses of all the Chinese residents in Batavia. This soon degenerated into an all-out, three-day long massacre - with Chinese being massacred in their homes, and earlier captured Chinese being killed out of hand in prisons and hospitals.
A preacher fanned the flames from the pulpit, declaring that the killing of Chinese was "God's Will", and the colonial government itself reportedly posted a bounty for decapitated Chinese heads. The number of victims in these three days is variously estimated at between five thousand and ten thousand. The name Kali Angke (traditional Chinese: 紅溪; literally, "Red River") is said to date from that time, recalling the blood flowing into the river.
- 5:27 PM
- 0 Comments